Persatuan


Seandainya kita mengaji dan mendakwahkan tauhid yang 3 (Rubuubiyyah, Uluuhiyyah, dan Asmaa wa Shifaat), mengatakan sebagian amalan tawassul dan istighatsah termasuk bid'ah bahkan syirik, ritual tahlilan dan perayaan maulid bid'ah, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah adalah salah satu ulama besar Islam; apakah itu akan membuat umumnya orang-orang Asw*j* tenang dan suka cita ? Tidak, bahkan mereka terusik serta akan senantiasa menggembosi dan memprovokasi sebagaimana terekam dalam sejarah bapak dan kakek-kakek kita.

Seandainya kita mengatakan cara-cara politik praktis, demokrasi dan demonstrasi, serta taktik oportunistik ala Al-Ikhwaanul-Muslimuun tidak disyari'atkan dalam Islam, terlarang, dan perlu ditahdzir; apakah ini akan membuat mereka lapang dada dalam menerima kita ?. Belum lagi jika kita katakan 'aqiidah tafwiidl-nya Hasan Al-Bannaa dan fikrah takfiriy nya Sayyid Quthb merupakan bentuk penyimpangan dari manhaj Ahlus-Sunnah..... tentu akan membuat mereka meradang.
Apakah Anda mengira sebagian habaaib (include : para penganut thariqah) bersama pengikut dan simpatisan fanatiknya itu akan gembira ria dengan dakwah tauhid yang telah berabad-abad ingin mereka musnahkan dengan stigma dakwah Wahabi (sesat) ?
Apakah Anda mengira orang Hizbut-Tahriir, Jama'ah Tabligh, LDII, dan yang lainnya menjadi tambah sehat, gemuk-gemuk, sejahtera, dan sentausa jika dakwah tauhid atau dahwah salafiyyah menjadi bergema di semua penjuru tempat disertai penjelasan penyelisihan mereka terhadap manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah ?
Sebaliknya, kita pun tak akan tenang bergaul akrab dengan penggemar klenik berdalih karamah, pelaku bid'ah, takfiri, atau oportunis politik yang gemar menggunakan label dakwah untuk kepentingan dunia. Atau, (pasti) tidak akan tenang pula membiarkan anak, istri, dan keluarga kita banyak memperoleh siraman rohani pencerahan dari mereka.....
Mereka akan 'menerima' kita dengan syarat tak mengusik/mengkritik 'aqidah dan amalan mereka atau - sukur-sukur - kita menerima apa yang menjadi bagian dari agama mereka. Dan itu tak mungkin,…. karena ketika kita bicara tauhid, pasti akan menyinggung syirik dan segala macam bentuk amalannya. Ketika kita bicara sunnah, tentu kita ikuti dengan kebalikannya, bid'ah. Ketika bicara manhaj Ahlus-Sunnah, secara langsung atau tidak langsung akan bicara manhaj lain yang menjadi musuhnya. Sejarah permusuhan antara tauhid dan syirik, bid’ah dan sunnah sudah sangat tua. Lebih tua dibandingkan Prasasti Ciaruteun di Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Jika kita ingin diterima semua golongan tanpa gesekan, PASTI ada yang dikorbankan. Sedikit atau banyak. Silakan lihat kenyataan yang dapat diindera dengan mata dan telinga kita, bagaimana keadaan para penyeru 'pluralitas' itu ..... Mulut mereka terpenjara. Mau bilang syirik dan bid'ah; dari semula bebas, jelas, dan lantang dikatakan di setiap pengajian; menjadi lirih, bisik-bisik, dan akhirnya blackout alias mati lampu. Sunyi dan sepi. Sesekali terdengar suara jangkrik. Lidah yang semula sangat berat mengatakan yang bid'ah bukan bid'ah; sekali, dua kali, dan tiga kali, menjadi terbiasa. Bahasa diplomatis keluar : perkara khilafiyyah. Akhirnya malah berani mengatakan : Tak mengapa, atau bahkan Sunnah.
Hati orang yang seaqidah dan semanhaj akan nyaman berkumpul dengan yang sejenisnya. Nabi bersabda:
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
Ruh-ruh itu bagaikan tentara yang berkelompok-kelompok. Jika saling mengenal (mempunyai kesesuaian) di antara mereka, maka akan bersatu. Namun jika saling mengingkari (tidak ada kesesuaian), maka akan berselisih” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3336, Muslim no. 2638, Abu Daawud no. 4834, dan yang lainnya].
Ini adalah realitas, sunnah kauniyyah. Bukan kampanye pendikotomian antar kelompok, tapi memang wujud riil dikotomi itu sendiri. Bukankah Allah ta'ala berfirman:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ * إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
"Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, akan tetapi mereka senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu" [QS. Huud : 118-119].
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” [QS. An-Nahl : 93].
???
Dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِي عَامِرٍ الْهَوْزَنِيِّ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ، أَنَّهُ قَامَ فِينَا، فَقَالَ: أَلَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَامَ فِينَا، فَقَالَ: " أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Dari Abu ‘Aamir Al-Hauzaniy, dari Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan bahwasannya ia (Mu’aawiyyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata : “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah pernah berdiri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda : ‘Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. (Adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk surga, yaitu Al-Jama’ah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4597].
Tujuhpuluh dua golongan tersebut adalah sekte-sekte yang menyimpang dari Ahlus-Sunnah dari kalangan ahlul-bid’ah. Sekte-sekte tersebut ada yang masih tetap dalam keislamannya, ada yang telah keluar dari wilayah Islam (kafir).
Ketika menafsirkan ayat ‘akan tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’ (QS. Huud : 118-119), beberapa ulama menjelaskan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ، قَالَ: أَهْلُ الْبَاطِلِ، إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، قَالَ: أَهْلُ الْحَقِّ
Dari Ibnu ‘Abbaas tentang ayat ‘akan tetapi mereka senantiasa berselisih’, ia berkata : “Yaitu Ahlul-Baathil”; dan ayat ‘kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata : “Ahlul-Haq”.
عَنْ عِكْرِمَةَ، فِي قَوْلِهِ: "وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، قَالَ: لا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ فِي الْهَوَى
Dari ‘Ikrimah tentang firman-Nya ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata : “Mereka senantiasa berselisih dalam hawa nafsu”.
عَنْ قَتَادَةَ، قَوْلَهُ: "وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، فَأَهْلُ رَحْمَةِ اللَّهِ أَهْلُ جَمَاعَةٍ، وَإِنْ تَفَرَّقَتْ دُورُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ، وَأَهْلُ مَعْصِيَةِ اللَّهِ أَهْلُ فُرْقَةٍ، وَإِنْ اجْتَمَعَتْ دُورُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ
Dari Qataadah tentang firman-Nya ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata : ‘Orang yang diberikan rahmat Allah adalah Ahlul-Jamaa’ah, meskipun tempat tinggal dan badan-badan mereka (secara fisik) terpisah. Sedangkan orang yang bermaksiat kepada Allah adalah Ahlul-Furqah (orang-orang yang berpecah-belah), meskipun tempat tinggal dan badan-badan mereka (secara fisik) berkumpul”.
[Tafsiir Ath-Thabariy, 15/533].
Menilik ayat, hadits, dan atsar di atas dapat diambil beberapa faedah:
1.    Merupakan sunnah kauniyyah umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dimana hanya ada satu yang masuk surga, yaitu Al-Jama’ah.
2.    Al-Jama’ah atau disebut Ahlur-Rahmah adalah orang-orang yang tidak berselisih dan terpecah. Mereka adalah orang yang menetapi kebenaran meskipun terpisah badan dan tempat tinggalnya.
3.    Tidak disebut Al-Jama’ah dengan berkumpulnya fisik selama mereka berada di atas kemaksiatan, hawa nafsu, dan kebid’ahan.
Ketika ada perintah Allah untuk mengikat persatuan di antara kaum muslimin, maksudnya adalah persatuan di atas asas kebenaran (al-haq). Seandainya orang yang beridentitas Islam dan mengaku muslim dengan segala ragam ‘aqidah dan manhaj semuanya disatukan – atau bahkan dipaksa satu – tetap saja tidak dinamakan al-jama’ah, karena al-jama’ah itu satu, yaitu orang-orang yang mengikatkan diri pada manhaj Nabi dan para shahabatnya, sebagaimana tafsiran Al-Jama’ah itu sendiri dalam riwayat yang lain:
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
Apa yang aku dan para shahabatku ada di atasnya pada hari ini” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/218-219].
Kenyataannya memang tidak bisa (disatukan), sebagaimana realitas disebutkan di awal. Kecuali akan timbul sekte baru yang ‘pluralis’, enjoy diam satu dengan yang lainnya (sukutiyyun).
Eksistensi al-jama’ah atau al-firqatun-naajiyyah dengan sekte-sekte sesat dari kalangan pengikut kebid’ahan dan hawa nafsu saling meniadakan dan saling bermusuhan. Dan memang tidak akan dapat disatukan antara yang haq dan yang bathil. Al-haq akan senantiasa bermusuhan dengan al-baathil. Allah ta’ala berfirman:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ
Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap” [QS. Al-Anbiyaa’ : 18].
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” [QS. Al-Israa’ : 81].
Allah ta’ala melarang untuk mencampurk-adukkan yang haq dan yang bathil.
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 42].
Ketika kita mengajak berjama’ah (baca : persatuan), maka jalan yang kita tempuh adalah berdakwah mengajak orang beragama sesuai dengan pemahaman salaf. Sesuai patron Nabi yang murni. Inilah jama’ah yang hakiki atau persatuan yang hakiki.
Abu 'Abdillah Al-Marwaziy rahimahullah pernah memberikan nasihat :
قَبَضَ اللَّهُ رَسُولَهُ ﷺ إِلَيْهِ بَعْدَ أَنْ أَكْمَلَ لِلْمُسْلِمِينَ دِينَهُمْ ، فَقَالَ : الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِينًا سورة المائدة آية 3 ، نَزَلَتْ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَاقِفٌ بِعَرَفَاتٍ ، فَلَمْ يَنْزِلْ بَعْدَهَا حَلالٌ وَلا حَرَامٌ ، وَرَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَمَاتَ
وَأَمَرَهُمُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِالاجْتِمَاعِ عَلَى مَا جَاءَهُمْ عَنْهُ ، وَنَهَاهُمْ عَنِ التَّفَرُّقِ مِنْ بَعْدِ أَنْ جَاءَهُمُ الْبَيَانُ ، فَقَالَ : وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا سورة آل عمران آية 103 ، وَقَالَ سُبْحَانَهُ : وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ سورة آل عمران آية 105 ،
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " لا تَقَاطَعُوا وَلا تَدَابَرُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا " ، وَقَالَ ﷺ : " لا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ " ، وَقَالَ ﷺ : مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ
"Allah ta'ala mewafatkan Rasul-Nya setelah menyempurnakan bagi kaum muslimin agama mereka. Allah berfirman : 'Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu' (QS. Al-Maaidah : 3). Ayat itu turun dimana waktu itu Rasulullah sedang berdiri di 'Arafah. Tidak turun perkara halal dan haram setelahnya (ayat tersebut). Lalu Rasulullah kembali dan kemudian wafat.
Dan Allah tabaraka wa ta'ala memerintahkan mereka untuk BERSATU di atas agama yang turun kepada mereka (yang telah sempurna), dan melarang PERPECAHAN setelah datang penjelasan kepada mereka. Allah ta'ala berfirman : 'Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara' (QS. Aali 'Imraan : 103). Dan Allah juga berfirman : 'Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka' (QS. Aali 'Imraan : 105).
Rasulullah bersabda : ‘Janganlah kalian saling memutuskan hubungan dan jangan pula saling memalingkan muka. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara’. Beliau bersabda : ‘Jangan kalian berselisih sehingga hati-hati kalian berselisih’. Beliau juga bersabda : ‘Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, hendaklah ia menetapi jama’ah  [As-Sunnah, hal. 43-44 no. 6].[1]
Selain itu, jama’ah juga dapat berarti : ‘berkumpul di atas pemimpin (ulil-amri) yang satu’. Nabi bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ، وَالنُّصْحُ لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ، وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ
Ada tiga perkara yang membuat hati seorang muslim tidak merasa dengki terhadapnya : ikhlash beramal karena Allah, menasehati para pemimpin kaum muslimin, dan menetapi jama’ah mereka” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2658].
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menjelaskan:
وقوله ولزوم جماعتهم هذا ايضا مما يطهر القلب من الغل والغش فإن صاحبه للزومه جماعة المسلمين يحب لهم ما يحب لنفسه ويكره لهم ما يكره لها ويسوؤه ما يسؤوهم ويسره ما يسرهم وهذا بخلاف من انجاز عنهم واشتغل بالطعن عليهم والعيب والذم لهم كفعل الرافضة والخوارج والمعتزلة وغيرهم فإن قلوبهم ممتلئة نحلا وغشا ولهذا تجد الرافضة ابعد الناس من الاخلاص اغشهم للائمة والامة واشدهم بعدا عن جماعة المسلمين
Dan sabda beliau : ‘dan menetapi jama’ah mereka’; ini juga termasuk satu hal yang bisa membersihkan hati dari sifat iri dan dengki. Karena pelakunya, dengan menetapi jama’ah kaum muslimin, berarti dia mencintai mereka sebagaimana cintanya kepada diri sendiri. Dan akan menyakitkannya apa yang membuat mereka sakit. Akan membuatnya mudah (lapang) apa yang memudahkan mereka. Hal ini berbeda jauh dengan keadaan orang yang menentang (membelot) dari imam dan menyibukkan diri dengan celaan-celaan kepada mereka, serta (membeberkan) aib dan menghinakan mereka, seperti tindakan Raafidlah, Khawaarij, Mu’tazillah, dan yang sejenis dengan mereka; karena hati mereka telah dipenuhi dengan rasa dengki. Oleh karena itu kamu akan dapati bahwa Rafidlah adalah sejauh-jauh manusia dari rasa ikhlash dan sedengki-dengki manusia terhadap para penguasa dan rakyat jelata, serta sejauh-jauh manusia dari jama’ah kaum muslimin….” [Miftaah Daaris-Sa’aadah, 1/72-73].
Dalam konteks pemahaman ini, terhadap orang yang tidak atau belum sepenuhnya menetapi manhaj salaf, kita dapat bersatu di bawah pemimpin kaum muslimin (ulil-amri) untuk mewujudkan kemaslahatan umum yang diakui syari’at Islam. Yaitu, tetap mendengar dan taat kepada mereka (pemimpin/ulil-amri) dalam perkara yang ma’ruf. Nabi bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai dan yang ia benci, selama tidak diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat (pada perintah maksiat tersebut)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7144].
Implementasinya banyak dalam kehidupan sehari-hari. Bersama-sama ikut menjaga stabilitas, keamanan, dan kenyamanan umum/masyarakat……
Tapi apa lacur, sebagian mereka pun enggan dalam prinsip ini dengan berbagai alasan. Pemimpin jadi objek yang menyatukan mereka dalam celaan. Common enemy (selain salafi/wahabi tentu saja he he he). Yang mengajak persatuan – yaitu mendengar dan taat kepada ulil amri dalam perkara yang ma’ruf – mereka cibir sebagai penjilat.
Jadi kalau ada orang yang mengajak persatuan, kita tanyakan : “Persatuan dalam hal apa dan atas dasar apa ? Persatuan untuk kemudian berpecah? Persatuan agitasi ? Persatuan dalam demonstrasi ? Persatuan saling memaklumi kerusakan masing-masing ?”.
Mari kita serukan persatuan dengan menempuh jalannya. Bukan hanya dendangan slogan dan yel-yel fatamorgana.
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لاَ تَجْرِي عَلىَ الْيَبَسِ
"Engkau mengharapkan keselamatan, namun tidak menempuh jalan-jalannya,....
Sesungguhnya perahu tidaklah berlayar di atas daratan".
Mari kita upayakan sesuatu yang hakiki, yang langgeng. Optimis, karena ini adalah tugas kita bersama, bukan tugas sekelompok orang.
Terakhir, seorang muslim diberikan walaa’ dan baraa’ sesuai kadar ketaatan dan kemaksiatan mereka. Mereka kita cintai karena ketaatan mereka kepada Allah, dan kita benci karena kemaksiatan mereka kepada Allah. Cinta dan benci karena Allah. Kita tunaikan hak-hak mereka dan tidak boleh mendhalimi mereka, siapapun mereka. Kita bermudarah dan tidak bermudahanah.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – rnn – 17012018].




[1]    Faedah dari penjelasan beliau rahimahullah:
  1. Agama telah sempurna.
  2. Perintah untuk bersatu di atas agama/syari'at yang telah sempurna tersebut.
  3. Persatuan yang disyari'atkan didasarkan oleh syari'at Allah, bukan didasarkan atas aneka macam maksiat dan kebid'ahan.
  4. Larangan perpecahan setelah datangnya penjelasan tentang syari'at yang sempurna kepada kita.
  5. Barangsiapa yang menginginkan keselamatan, wajib baginya menetapi jama’ah.

Comments

Anonim mengatakan...

penjelasan yang sangat memadahi